Bahwa mengingat aliran yang berlaku di Indonesia adalah rechtsvinding, bahwa hakim dalam memutuskan suatu perkara berpegang pada Undang-Undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara kebebasan yang terkait (gebondenvrijheid) dan keterikatan yang bebas (vrijegebondenheid).
Tindakan hakim tersebut berdasarkan pada Pasal 20, 22 AB dan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebelum dirubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
(1). Pasal 20 menyatakan bahwa: Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang.
(2). Pasal 22 AB menyatakan bahwa: Hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan Undang-Undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.
(3). Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi: Hakim wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
(4.) Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Prosedur formal menjadi tujuan utama, maka dapat dipastikan bahwa pihak yang merasa dirugikan akan menolak untuk kedua kalinya menyelesaikan perkara melalui pengadilan dan ini akan menjadi persoalan besar. Dikatakan persoalan besar karena, disatu sisi ingin menjadikan pengadilan sebagai bagian dari pemberi keadilan bagi masyarakat, tetapi disisi lain terjadi ketidakpercayaan masyarakat kepada pengadilan
Bahwa ketika pertimbangan Hakim yang positivistik mendahului prinsip kemanusiaan, maka Undang-Undang dianggap sebagai sumber hukum yang utama dan tidak mengenal adanya peraturan-peraturan lain, seperti adat serta kebiasaan. Hakim hanya mematuhi apa bunyi teks Undang-Undang dan apabila terbukti unsur- unsur dalam Undang-Undang atau Pasal KUHP telah terpenuhi, maka hakim dapat menyatakan bahwa seseorang telah bersalah karena melanggar undang-undang.
Perbedaan kondisi di setiap kasus seharusnya menjadi acuan bagi hakim, karena jika dalam kasus- kasus yang memerlukan keadilan dan prinsip kemanusiaan hakim tidak dapat mendasarkan putusannya pada teori-teori yang positivistik. Karena hukum yang positivistik tidak memandang adanya perbedaan kondisi di setiap kasus.
0 comments:
Post a Comment