www.artikelhukum.online
Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sangatlah penting bahwa diskresi ini dapat dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan segala aspek atau hal-hal diatas disertai etika yang baik. Oleh karena itu dengan diskresi ini maka tindakan yang diambil oleh Polisi harus benar sesuai dengan aturan hukum
- Tindakan Diskresi Individual : Tindakan diskresi yang diputuskan oleh Polisi dilapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual.
- Diskresi Birokrasi : Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka atau pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian.Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka.
Dapat dipahami bahwa, diskresi menjadi kewenangan yang tidak bisa dilepas pisahkan dari tugas kepolisian, namun tolak ukur yang digunakan pada tataran imlementasi belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya aturan yang jelas mengenai penggunaan diskresi oleh Polisi, sehingga kewenangan diskresi ini berpotensi untuk disalah gunakan. Oleh karena itu, paling tidak kewenangan diskresi dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu sebagai batasan-batasan tolak ukur bagi Kepolisian dalam proses penegakan hukum pidana, sehingga, kewenangan diskresi tidak terkesan unlimited atau tanpa batasan yang jelas. Oleh karena itu dapat dikemukakan beberapa asas sebagai pengangan yang menjadi tolak ukur bagi penggunaan diskresi oleh Polisi dalam menegakkan hukum pidana antara lain:
- Asas keperluan : Tugas dan wewenang kepolisian dalam menegakkan hukum harus berdasarkan pada peraturan yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya di lapangan oleh Polisi sering ditemukan kendala-kendala seperti tidak ada peraturan pelaksanaan daru undang-undang yang ada, ketidak jelasan peraturan perundang-undangan, dan / atau undang-undang tidak mengaturnya. Kendala-kendala seperti ini memungkinkan penggunaan diskresi oleh Polisi dalam sutu proses penegakan hukum. Namun penting untuk diingat bahwa diskresi tidak selalu menjadi keharusan dijalankan dalam menangani suatu masalah hukum, dan hanya dapat dilakukan bila masalah yang ditangan benar-benar sudah sangat mendesak untuk diselesaikan sehingga dalam kondisi ini tepat untuk digunakan diskresi. Jadi terdapat situasi yang menentukan sehingga diskresi perlu untuk dilakukan oleh Polisi. Jadi tidak semua masalah hukum pidana membutuhkan adanya diskresi dari Kepolisian.
- Asas lugas dan integritas :Asas lugas dan integritas ini menghendaki agar penerapan diskresi Kepolisian dapat digunakan secara bertanggungjawab, terbuka, jujur, dan tidak memihak serta objektif dan tidak untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Demikian juga dalam menggunakan diskresi kepolisian perlu untuk dipertimbangkan secara logis dan sistematis dengan mengkaji masalah dari berbagai aspek, tentang perlu tidaknya diterapkan diskresi,dan memprediksi akibat yang timbul dari penerapan diskresi tersebut serta bagaimana mengantisipasinya. Di samping itu, sebelum seorang Polisi mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan (diskresi), wajib mempertimbangkan secara menyeluruh mengenai objek, subjek dan mekanisme diskresi yang diambil. Objek diskresi adalah muatan diskresi, sedangkan subjek diskresi terdiri dari si pengambil diskresi (bila diskresi itu dilakukan oleh seorang Polisi, maka harus memikirkan dampak terhadap institusinya, demikian juga bila diskresi dilakukan secara kelembagaan atau institusi, maka perlu untuk dipertimbangkan institusi dan individu Polisi secara khusus dimata masyarakat.
- Asas manfaat dan tujuan Tindakan diskresi terhadap subjek tertentu (pelaku tindak pidana) tentunya dapat diperhitungkan nilai manfaat dan tujuan dari penggunaan diskresi tersebut yaitu berdasarkan tujuan diterapkannya hukum pidana atau sesuai dengan tujuan pemidanaan. Menurut Mardjono Reksodiputro, tujuan kebijakan pidana adalah: (1). Mencegah individu dan masyarakat menjadi korban; (2) Mencegah yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka dan apaabila si pelaku tindak pidana kembali telah kembali berintigrasi dengan masyarakat serta hidup sebagai warga negara yang taat pada hukum, (3) Melindungi orang yang tidak bersalah dan menghukum perbuatan yang melawan hukum.
- Asas keseimbangan Muatan diskresi adalah hasil pertimbangan yang dikaji secara keseluruhan termasuk berat ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan tidak diskriminatif antara pelaku dan korban. Selanjutnya asas keseimbangan ini dapat berarti pengendalian terhadap kewenangan penggunaan diskresi oleh Polisi baik pengendalian bersifat internal (didalam tubuh institusi tersebut) maupun pengendalian secara eksternal (diluar tubuh institusi) atau pengendalian formal (istitusi yang berwenang) maupun informal (masyarakat secara umum).
Lebih konkrit lagi agar penerapan diskresi Kepolisian tidak dipandang sebagai alat rekayasa dari aparat kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka penerapannya harus dilandasi dasar hukum yang kuat. Beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain:
- Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksankan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisia n;
- Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan: Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: menga da ka n tinda ka n la in menur ut hukum ya ng ber ta nggung ja wa b. Ayat (2) UU Kepolisian menyebutkan, tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
- tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
- selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
- pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan menghormati hak asasi manusia
- Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan: untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya da pa t ber tinda k menur ut penila ia nnya sendir i. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a
- Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang pada pokoknya memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP mengataur hal yang sama dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP.
- Barda Nawawi Arief, Bunga Ra mpe Keja ha ta n Hukum P ida na , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
- Barda Nawawi Arief, Ma sa la h-Ma sa la h P enega ka n Hukum da n Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bakti, Bandung, 2001
- Faisol Azhari, Diskr esi P olisi Nega r a Republik Indonesia da la m Ra ngka P enega ka n Hukum P ida na , Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2003.
- Galligan, D, Discretiona ry P owers, Clarendon Press, Oxford, 1986
- Hawkins, K, The Use of Lega l Discr etion: P er spective fr om La w a nd Socia
- Scince, Clarendon Press, Oxford, 1992.
- James Q Wilson, Varienties of Police Behvior, New York, Harvard University Press, 1972.
- M. Faal, P enya r inga n P er ka r a P ida na Oleh P olisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya
- Paramita, Jakarta, 1991.
- Mahrus Ali, P a r a digma Ba r u da la m P engguna a n Diskr esi oleh P olisi da n J a ksa da la m P enega ka n Hukum P ida na (Sistem P er a dila n P ida na P r ogr esif; Alter na tif Da la m
- Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teor i-Teor i da n Kebija ka n P ida na , Alumni, Bandung, 1998.
- Raz, A.A. Watimena, Melampui Negara Hukum Klasik (Locke - Rousseau - Habermas), Yogyakarta, Kanisius, 2007.
- Ross, On La w a nd J ustice, Stevens & Sons Limited, London, 1959.
- Roeslan Saleh, dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1988.
- Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007.
- Satjipto Rahardjo, P enega ka n Hukum, Sua tu Tinja ua n Sosiologis, Genta Publising, Yogyakarta, 2009.
- Soerjono Soekanto, F a ktor ya ng Mempenga r uhi P enega ka n Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, jakarta, 2002.
- Sudarto, P emida na a n P ida na da n Tinda ka n, BPHN, Jakarta, 1982
0 comments:
Post a Comment