Friday, April 14, 2017

Akuntansi Forensik dan Pengungkapan Kasus Korupsi di Indonesia

 
Apa Itu Ilmu Forensik
Ilmu forensik adalah ilmu yang digunakan untuk penyelidikan kriminal dalam rangka mencari bukti
yang dapat digunakan dalam kasus-kasus kriminal. Sedangkan menurut Tuanakotta (2010) Akuntansi forensik adalah ilmu akuntansi dalam arti luas termasuk auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan. Akuntansi forensik meliputi investigasi kecurangan dan menginvestigasi pembukuan keuangan maupun catatan yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

Berbeda dengan auditor yang memberikan opini terhadap laporan keuangan, Akuntansi forensik lebih
berfokus pada suatu dugaan atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu, akuntansi forensik memiliki peran yang efektif dalam menyelidiki dan membuktikanadanya tindak pidana korupsi.

Praktik akuntansi forensik tumbuh tidak lama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Tingkat korupsi yang masih tinggi menjadi pendorong yang kuat untuk berkembangnya praktik akuntansi forensik di Indonesia, meskipun pada dasarnya akuntansi forensik sudah lama dipraktikan di Indonesia jauh sebelum krisis ekonomi. Praktik akuntansi forensik di Indonesia pertama kali dilakukan untuk menyelesaikan kasus Bank Bali oleh Price Waterhouse Cooper (PWC), keberhasilannya dapat dilihat dari Price Waterhouse Cooper (PWC) berhasil menunjukan aliran dana yang bersumber dari pencairan dana peminjaman Bank Bali.

Keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi sangat bergantung pada penyidikan dan pembuktian di persidangan serta tidak mengesampingkan pula proses lainnya seperti penyelidikan dan penuntutan. Penyidikan berperan untuk mengumpulkan fakta-fakta dan alat bukti, sedangkan pembuktian di persidangan adalah untuk membuktikan bahwa benar seorang terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan alat bukti yang sah. Dengan telah dilakukannya praktik akuntansi forensik di Indonesia belum dapat diukur apakah penerapan akuntansi forensik telah membantu pemberantasan tindak pidana korupsi atau belum. Oleh karena itu diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai eksistensi akuntansi forensik dalam penyidikan dan pembuktian tindak pidana korupsi.
 
 Peran akuntansi forensik dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
  1. Mendeteksi Letak Kerugian Keuangan Negara
    Mendeteksi letak kerugian keuangan negara adalah mencari tahu apakah perbuatan tersebut menimbulkan adanya kerugian keuangan negara dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Salah satu kendala dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah sulitnya untuk menentukan dimana letak kerugian negara dan menentukan apakah sejumlah dana yang dikorupsi oleh seorang tersangka merupakan bagian dari keuangan negara atau perekonomian negara. Adanya akuntansi forensik atau audit forensik menjelaskan mengenai letak kerugian keuangan negara tersebut terjadi, apakah kerugian keuangan negara berkaitan dengan aset, kewajiban, penerimaan atau bahkan pengeluaran. Dengan diketahui letak kerugian yang ditemukan, apabila kerugian tersebut berkaitan dengan keuangan negara atau dapat diketahui bahwa kerugian tersebut memiliki akibat baik langsung maupun tidak langsung terhadap kerugian negara maka telah merugikan keuangan negara.
  2. Menghitung Kerugian Keuangan Negara
     Penghitungan kerugian keuangan negara adalah suatu proses penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh instansi dalam penyidikan untuk memperoleh kesimpulan kerugian keuangan negara yang dimuat dalam klausul dakwaan jaksa penuntut umum tindak pidana korupsi. Akuntansi forensik dapat menghitung jumlah kerugian negara dengan melakukan teknik audit investigatif, wawancara mendalam dan melakukan penelusuran terhadap jejak- jejak arus uang. Dengan adanya penelusuran bukti- bukti yang ada maka dapat disimpulkan berapa besarnya jumlah kerugian keuangan negara yang terjadi serta modus operandi yang dilakukan tersangka tindak pidana korupsi. Jumlah kerugian negara ini nantinya akan dijadikan dasar berapa jumlah yang harus dikembalikan kepada negara oleh terpidana korupsi atas perbuatan korupsi yang telah dilakukannya.

  3. Mengungkap Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi dapat dikatakan sangat majemuk karena mencakup beberapa bidang. Hal ini mengakibatkan proses pengungkapannya sangatlah sulit terlebih karena menyangkut dengan keuangan, ditambah lagi dengan canggihnya modus operandi yang dilakukan dan kecekatan pelaku untuk menghilangkan jejak. Modus operandi dari tindak pidana korupsi sangatlah bervariasi dikarenakan dipengaruhi dan terkait dengan berbagai bidang seperti dalam perpajakan, administrasi, pemerintahan, perbankan dan sebagainya. Akuntansi forensik dalam mengungkap modus operandi tindak pidana korupsi akan melakukan audit secara mendalam terkait dengan bukti-bukti yang telah dihasilkan oleh penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi. Audit ini dilakukan dengan cara menganalisis bukti-bukti tersebut sehingga dapat menemukan bagaimana kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh seseorang sehingga dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.
  4. Menghasilkan alat bukti untuk persidangan Analisis dari akuntansi forensik atau audit forensik dapat menghasilkan bukti berupa surat dan keterangan ahli yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan, alat bukti tersebut dapat berupa: Laporan Hasil Audit Investigatif (LHAI), Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN), dan Keterangan Ahli Akuntan Forensik.
Pengaruh Alat Bukti Hasil Analisis Akuntansi Forensik Terhadap Putusan Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. 
Setiap putusan pengadilan harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yakni ketentuan mengenai formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim dan apabila syarat ini tidak dipenuhi kecuali yang tersebut dalam huruf g, maka putusan batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void). 
Tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut kerugian keuangan negara secara formil yaitu tidak perlu ada kerugian yang nyata. Adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya suatu akibat. Sedangkan menurut pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Keputusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, memberikan pengertian lain yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum
frasa “menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara” harus dibuktikan dan dapat dihitung terlebih dahulu. Artinya adalah bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan tersebut harus ditentukan oleh seorang ahli dibidangnya.
 
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan istilah kerugian yang dijabarkan dalam penjelasan undang-undangnya. Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Pengungkapan kerugian yang bersifat potensial haruslah tetap dilakukan oleh pihak yang memiliki keahlian khusus dalam mengungkapkan kerugian negara. Pihak yang memiliki keahlian khusus dalam penghitungan kerugian keuangan negara adalah akuntan forensik

Analisis yang dilakukan oleh akuntansi forensik menghasilkan alat bukti yang dapat menyimpulkan
adanya modus operansi tindak pidana korupsi. Modus operandi merupakan cara-cara yang dilakukan oleh seorang terdakwa untuk tindak pidana korupsi. Dengan diketahuinya modus operandi, maka dapat diketahui perbuatan terdakwa yang melanggar hukum. Fakta ini dapat dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan mengenai unsur melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa tindak pidana korupsi. Selain itu keberadaan alat bukti hasil analisis akuntansi forensik yang menyimpulkan mengenai letak dan jumlah kerugian keuangan negara dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam mempertimbangkan unsur “yang dapat merugikan keuangan negara” sebagaimana tercantum dalam rumusan delik tindak pidana korupsi dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Eksistensi akuntansi forensik atau audit forensik dalam pembuktian tindak pidana korupsi adalah untuk membuktikan adanya kerugian keuangan negara.Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat tidaknya dilakukan penyidikan, maka disini sudah terjadi tahapan pembuktian. Begitu juga dengan penyidikan, ketika ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

Namun, pada hakikatnya proses pembuktian memang lebih dominan pada sidang pengadilan untuk menemukan kebenaran materiil (materieele waarheid) akan peristiwa yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang seadil mungkin.

Pada setiap tahapan pembuktian akuntansi forensik memiliki fungsi yang berbeda. Eksistensi akuntansi

Akuntansi Forensik dalam Pembuktian di Tingkat Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi.
penyelidikan bersifat proaktif (proactive fraud audit). Proactive fraud audit digunakan untuk menemukan adanya kecurangan yang dilakukan baik untuk pegawai/pejabat pemerintahan sebagai oknum yang tidak bertanggungjawab maupun oleh manajemen instansi itu sendiri. Pendeteksian kecurangan dilakukan secara aktif tanpa menunggu adanya informasi ataupun pengaduan tentang adanya kecurangan dari seorang penyidik. Eksistensi akuntansi forensik dapat dilihat dari adanya Laporan Hasil Audit Investigatif yang diserahkan oleh auditor forensik kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai adanya indikasi terjadinya tindak pidana korupsi di lembaga atau instansi fungsional pemerintahan. Laporan tersebut didasarkan dari audit keuangan dan audit operasional yang telah dilakukan dalam mendeteksi adanya kecurangan yang terdapat indikasi tindak pidana korupsi
 
Eksistensi Akuntansi Forensik dalam Pembuktian di Tingkat Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Eksistensi akuntansi forensik dalam pembuktian di penyidikan tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya diperlukan karena tidak semua penyidikan tindak pidana korupsi memerlukan analisis akuntansi forensik. Apabila tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang tersangka tindak pidana korupsi termasuk dalam tindak pidana korupsi yang mudah dalam pembuktiannya maka tidak
menggunakan analisis akuntansi forensik. Sebaliknya apabila modus operandinya sangat kompleks dan membutuhkan penghitungan kerugian keuangan negara secara khusus karena tidak dapat dilakukan penghitungan secara biasa oleh penyidik tindak pidana korupsi maka analisis akuntansi forensik sangat diperlukan. Analisis akuntansi forensik digunakan untuk menghasilkan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang kuat di persidangan untuk mendukung dakwaan jaksa penuntut umum.

Eksistensi akuntansi forensik dalam proses pembuktian di tingkat penuntutan tindak pidana korupsi
Eksistensi akuntansi forensik dalam pembuktian di tahap penuntutan adalah melengkapi berkas perkara serta bukti-bukti pendukung yang akan dilimpahkan kepada pengadilan tindak pidana korupsi yang bersangkutan, khususnya adalah kelengkapan bukti- bukti yang berkaitan dengan adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu juga dijadikan sebagai dasar penguraian fakta dalam surat dakwaan mengenai adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Eksistensi akuntansi forensik dalam proses pembuktian di tingkat persidangan tindak pidana
korupsi Eksistensi akuntansi forensik dalam pembuktian di persidangan adalah sebagai alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Sidang pengadilan perkara pidana adalah untuk mengungkapkan fakta-fakta suatu peristiwa melalui berbagai alat bukti dan terkadang ditambah dengan barang bukti yang sering disebut dengan kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti.

Pendapat
Eksistensi akuntansi forensik di setiap tahapan proses pembuktian dalam acara peradilan pidana memiliki fungsi yang berbeda. Dapat disimpulkan bahwa eksistensi akuntansi forensik adalah sebagai sebuah metode yang digunakan oleh penyidik untuk mengetahui modus operandi serta kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Berdasarkan hasil analisis akuntansi forensik dapat menghasilkan alat bukti sebagai kelengkapan pemberkasan dalam penyidikan dan penuntutan yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan untuk membuktikan perbuatan melawan hukum terdakwa tindak pidana korupsi dan adanya kerugian keuangan negara. Sehingga majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya kepada terdakwa serta menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa untuk membayar ganti kerugian negara sesuai dengan hasil perhitungan akutansi forensik.
 
DAFTAR PUSTAKA
  1. Ashshofa, Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum: Cetakan Keempat. Jakarta: PT Rineka Cipta.
  2. Chazawi, Adami, 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.
  3. ---------------------. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni. 
  4. Djaja, Ermansjah. 2010. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Jakarta: Sinar Grafika. 
  5. Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Jilid 1: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.
  6. --------------------. 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Jilid 2: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali Jakarta: Sinar Grafika.
  7. Kayo, Amrizal Sutan. 2013. Audit Forensik: Penggunaan dan Kompetensi Auditor dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
  8. Makawimbang, Hernold Ferry. 2014. Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media.
  9. Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  10. Nitibaskara, Ronny Rahman. 2000.  Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
  11. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  12. Sumaryanto, A. Djoko. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara.Jakarta: Prestasi pustakarya
  13. Tuanakotta, Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat.
  14. ------------------. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif: Jilid Kedua. Jakarta: Salemba Empat.

0 comments:

Post a Comment