Monday, April 17, 2017

DISTORSI PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF CIVIL SOCIETY



LSM merupakan lembaga/organisasi non partisan yang berbasis pada gerakan moral ( moral force) yang memiliki peran penting dalam penyeleng garaan pemerintahan dan kehidupan politik. LSM dipandang mempunyai peran signifikan dalam proses demokratisasi. Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan karakteristik khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor politik pemerintah maupun swasta (private sector),sehingga mampu menjalankan tugas tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor tersebut.

Kemunculan LSM merupakan reaksi atas melemahnya peran kontrol lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik, dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya LSM, terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan LSM adalah bagaimana mengontrol kekuasaan Negara, tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah. Meuthia Ganie-rochman menyebut pola hubungan LSM pada masa ini sebagai pola hubungan yang konfliktual, dimana dari sisi pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi LSM

Dalam konsep civil society, kondisi masyarakat di sangat jauh dari prinsip kemandirian. Independensi masyarakat terhadap pemerintah, yang merupakan prinsip utama dalam membangun civil society tidak terlihat. Dominasi pemerintah terlihat jelas dalam perumusan kebijakan, sementara dalam implementasi kebijakan banyak terjadi manipulasi yang merugikan masyarakat.

Dalam kondisi semacam ini seharusnya LSM dapat mengambil peran untuk memperbaiki kondisi yang ada, dalam rangka menciptakan civil society yang kuat dan mandiri, melalui peran-peran pemberdayaan masyarakat, advokasi public dan pengawasan kebijakan pemerintahan daerah. Eksistensi dan peran LSM  telah memberikan warna dalam upaya-upaya memperkuat civil society. Namun tak semua LSM berperan sebagaimana seharusnya, yaitu sebagai pilar hadirnya civil society. Beberapa LSM justeru melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari fungsinya.

Tipologi atau kategorisasi LSM di Indonesia dikemukakan oleh beberapa ahli. Philip Eldridge dalam Mansour Fakih membaginya dalam pendekatan berdasarkan kegiatannya dan mendefinisikan gerakan LSM Indonesia menjadi 2 kategori. Kategori pertama adalah LSM dengan label “pembangunan Kategori ini berkaitan dengan organisasi yang me musatkan perhatiannya pada program pengembangan masyarakat konvensional, yaitu irigasi, air minum, pusat kesehatan, pertanian, peternakan, kerajinan dan bentuk pembangunan ekonomi lainnya. 
 
Kategori kedua adalah LSM “mobilisasi”, yaitu organisasi yang memusatkan perhatiannya pada pendidikan dan mobilisasi rakyat miskin sekitar isu yang berkaitan dengan ekologi, hak asasi manusia, status perempuan, hak-hak hukum atas kepemilikan tanah, hak-hak pedagang kecil, tunawisma dan penghuni liar dikota-kota besar.
Ditinjau dari segi paradigmanya LSM di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
  1. Berparadigma Konformis (developmentalis), yang visinya berangkat dari asumsi bahwa masalah demokrasi dan kondisi sosial ekonomi rakyat sebagai faktor yang inheren dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan keterpencilan. Dengan demikian solusinya adalah dengan melakukan perubahan mental atau budaya masyarakat sasaran.
  2. LSM yang menggunakan paradigma reformis. Kalangan LSM ini melihat kondisi sosial ekonomi dan demokrasi karena tak berfungsinya elemen- elemen sosial politik yang ada, di mana rakyat atau kelompok-kelompok masyarakat kurang memiliki akses dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik dan pembangunan. 
  3. Paradigma ketiga adalah transformatoris. Gerakan-gerakan LSM seperti ini terasa agak radikal, di mana iklim atau isu keterbukaan dimanfaatkan untuk mencoba membongkar berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik. Sangat kontras dengan LSM berparadigma pertama dan kedua, yang ketiga ini melihat kondisi struktur sosial ekonomi dan politik sebagai hasil pemaksaan negara atau kelompok-kelompok dominan, sehingga oleh karena itu melahirkan ketidakadilan dan ketidakdemokrasian.
 Demikianlah sekilas tentang Distorsi LSM, dasar hukum pembentukan LSM bisa di View atau download dibawah ini :
  1. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1985 Tentang ORGANISASI KEMASYARAKATAN 
  2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
  3. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN 
  4. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 comments:

Post a Comment