Thursday, April 27, 2017

TOLOK UKUR DISKRESI POLRI


www.artikelhukum.online
Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sangatlah  penting bahwa diskresi ini dapat dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan segala aspek atau hal-hal diatas disertai etika yang baik. Oleh karena itu dengan diskresi  ini  maka tindakan yang diambil oleh Polisi harus  benar sesuai dengan aturan hukum
  1. Tindakan Diskresi Individual : Tindakan diskresi yang diputuskan oleh Polisi dilapangan secara langsung pada  saat itu juga  dan tanpa  meminta  petunjuk atau  keputusan dari atasannya adalah  diskresi yang bersifat  individual. 
  2. Diskresi Birokrasi : Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka atau pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian.Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka.
Dapat dipahami bahwa, diskresi menjadi kewenangan yang tidak bisa dilepas pisahkan dari tugas kepolisian, namun tolak ukur yang digunakan  pada tataran imlementasi belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya aturan yang jelas mengenai penggunaan diskresi oleh Polisi, sehingga kewenangan diskresi ini berpotensi untuk  disalah  gunakan.  Oleh  karena  itu,  paling  tidak  kewenangan diskresi  dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu  sebagai  batasan-batasan tolak ukur bagi Kepolisian  dalam  proses  penegakan  hukum pidana, sehingga, kewenangan diskresi tidak terkesan unlimited atau tanpa batasan  yang jelas. Oleh karena itu dapat dikemukakan  beberapa asas sebagai pengangan  yang menjadi  tolak  ukur  bagi penggunaan  diskresi  oleh  Polisi  dalam  menegakkan hukum pidana antara lain:


  1. Asas keperluan : Tugas dan wewenang kepolisian dalam  menegakkan hukum harus berdasarkan pada peraturan yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya di lapangan oleh Polisi sering ditemukan kendala-kendala seperti tidak ada peraturan pelaksanaan daru undang-undang yang ada, ketidak jelasan peraturan perundang-undangan, dan / atau   undang-undang   tidak  mengaturnya. Kendala-kendala seperti ini memungkinkan  penggunaan  diskresi oleh Polisi dalam sutu proses  penegakan  hukum.  Namun penting  untuk  diingat  bahwa  diskresi tidak selalu menjadi keharusan dijalankan dalam menangani suatu masalah hukum, dan hanya dapat dilakukan bila masalah yang ditangan benar-benar sudah sangat mendesak untuk diselesaikan sehingga dalam kondisi ini tepat untuk digunakan diskresi. Jadi terdapat situasi yang menentukan sehingga diskresi perlu untuk dilakukan oleh  Polisi. Jadi  tidak  semua  masalah  hukum  pidana  membutuhkan adanya diskresi dari Kepolisian. 
  2. Asas lugas dan integritas :Asas lugas dan integritas ini menghendaki agar penerapan diskresi  Kepolisian dapat digunakan secara bertanggungjawab, terbuka, jujur, dan tidak memihak serta objektif dan tidak untuk kepentingan  pribadi  atau orang  lain. Demikian juga dalam menggunakan diskresi kepolisian perlu untuk dipertimbangkan secara logis  dan  sistematis  dengan  mengkaji masalah dari berbagai aspek, tentang perlu tidaknya diterapkan diskresi,dan memprediksi akibat yang timbul dari penerapan diskresi tersebut serta bagaimana mengantisipasinya. Di samping itu, sebelum  seorang Polisi mengambil  keputusan untuk melakukan  suatu  tindakan (diskresi), wajib mempertimbangkan secara menyeluruh mengenai objek, subjek dan mekanisme diskresi yang diambil. Objek diskresi adalah muatan diskresi, sedangkan subjek  diskresi  terdiri dari  si pengambil diskresi (bila diskresi itu dilakukan oleh seorang Polisi, maka harus memikirkan dampak terhadap institusinya, demikian juga bila diskresi dilakukan secara kelembagaan atau institusi, maka perlu untuk dipertimbangkan institusi dan individu Polisi secara khusus dimata masyarakat. 
  3. Asas manfaat dan tujuan Tindakan  diskresi terhadap subjek tertentu (pelaku tindak pidana) tentunya dapat diperhitungkan nilai manfaat  dan tujuan dari penggunaan diskresi tersebut yaitu berdasarkan  tujuan diterapkanny hukum  pidana  atau  sesuai dengan tujuan pemidanaan.  Menurut  Mardjono  Reksodiputro, tujuan  kebijakan  pidana adalah:  (1). Mencegah individu  dan  masyarakat  menjadi  korban; (2) Mencegah   yang   sedang   ataupun   telah   selesai   menjalani   pidana   tidak mengulangi lagi perbuatan mereka  dan  apaabila  si  pelaku  tindak  pidana kembali  telah  kembali  berintigrasi dengan masyarakat serta  hidup  sebagai warga negara yang taat pada hukum, (3)  Melindungi  orang yang  tidak bersalah  dan  menghukum  perbuatan  yang melawan hukum.
  4.  Asas keseimbangan Muatan  diskresi  adalah  hasil  pertimbangan  yang dikaji  secara  keseluruhan termasuk berat ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan tidak diskriminatif antara pelaku dan korban.  Selanjutnya asas keseimbangan ini dapat berarti pengendalian terhadap  kewenangan penggunaan diskresi oleh Polisi baik pengendalian bersifat internal (didalam tubuh institusi tersebut) maupun pengendalian secara  eksternal  (diluar tubuh institusi)  atau pengendalian  formal (istitusi yang berwenang)  maupun  informal  (masyarakat secara umum).
    Lebih konkrit lagi agar penerapan diskresi Kepolisian tidak dipandang sebagai alat rekayasa dari aparat  kepolisian untuk memperoleh   keuntungan   pribadi,  maka  penerapannya   harus  dilandasi   dasar hukum yang  kuat.  Beberapa  perundang-undangan  yang  dapat  dijadikan  dasar hukum  penerapan  diskresi, khususnya  dalam  proses  penegakan  hukum  pidana, antara lain:
    • Pasal  15  ayat  (2)  huruf  k  Undang-Undang  No.  2  Tahun  2002  tentang Kepolisian   Negara  Republik Indonesia,   yang   menyebutkan:   Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan  peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksankan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup  tugas  kepolisia n; 
    • Pasal  16  ayat  (1)  huruf  l  Undang-undang   No.  2  Tahun  2002  tentang Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia yang menyebutkan: Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana Kepolisian  Negara Republik Indonesia berwenang untuk:  menga da ka n  tinda ka n  la in  menur ut hukum ya ng ber ta nggung ja wa b. Ayat   (2)   UU   Kepolisian   menyebutkan,   tindakan   lain   sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
    • tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
    • selaras  dengan  kewajiban  hukum  yang mengharuskan  tindakan  tersebut dilakukan; harus patut,  masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
    • pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan menghormati hak asasi manusia
    • Pasal  18  ayat  (1)  Undang-undang  No.  2  Tahun  2002  tentang  Kepolisian Negara Republik  Indonesia menyebutkan: untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya da pa t ber tinda k menur ut penila ia nnya sendir i. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan  dalam  keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan  perundang-undangan, serta Kode Etik  Profesi  Kepolisian  Negara Republik Indonesia. 
    • Pasal  5 ayat  (1)  huruf  a angka  4 Kitab  Undang-undang  Hukum  Acara Pidana yang menyebutkan  Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena  kewajibannya   mempunyai   wewenanmengadakan   tindakan   lain menurut hukum yang  bertanggung jawab.  Penjelasan  Pasal 5  ayat  (1)  huruf a 
    •  Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-undang  Hukum Acara Pidana, yang pada pokoknya memberikan  wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP mengataur hal yang sama dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP.

      DAFTAR PUSTAKA
    • Barda  Nawawi  Arief,  Bunga  Ra mpe  Keja ha ta n  Hukum P ida na ,  Citra  Aditya Bakti, Bandung, 1996. 
    • Barda  Nawawi  Arief,  Ma sa la h-Ma sa la h  P enega ka n  Hukum  da n  Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bakti, Bandung, 2001 
    • Faisol   Azhari,   Diskr esi   P olisi   Nega r a   Republik  Indonesia   da la m  Ra ngka P enega ka n   Hukum   P ida na ,    Pascasarjana    Universitas    Diponegoro, Semarang, 2003. 
    • Galligan, D, Discretiona ry P owers, Clarendon Press, Oxford, 1986 
    • Hawkins,  K,  The Use of Lega l  Discr etion:  P er spective fr om La w a nd Socia
      l
       
    • Scince, Clarendon Press, Oxford, 1992. 
    • James Q Wilson, Varienties  of Police Behvior, New York, Harvard University Press, 1972. 
    • M. Faal, P enya r inga n P er ka r a P ida na Oleh P olisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya 
    • Paramita, Jakarta, 1991. 
    • Mahrus Ali, P a r a digma Ba r u da la m P engguna a n Diskr esi oleh P olisi da n J a ksa da la m P enega ka n  Hukum P ida na  (Sistem P er a dila n  P ida na  P r ogr esif; Alter na tif  Da la m 
    • Muladi  dan Barda Nawawi  Arief,  Teor i-Teor i da n Kebija ka n P ida na , Alumni, Bandung, 1998. 
    • Raz,  A.A.  Watimena,  Melampui  Negara  Hukum  Klasik  (Locke  -  Rousseau  - Habermas), Yogyakarta, Kanisius, 2007. 
    • Ross, On La w a nd J ustice, Stevens & Sons Limited, London, 1959. 
    • Roeslan  Saleh,  dari  Lembaran   Kepustakaan   Hukum  Pidana,  Sinar  Grafika, Jakarta, 1988. 
    • Satjipto   Rahardjo,   Membangun   Polisi   Sipil  Perspektif   Hukum,   Sosial   dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007. 
    • Satjipto   Rahardjo,   P enega ka n   Hukum,   Sua tu   Tinja ua n   Sosiologis,   Genta Publising, Yogyakarta, 2009. 
    • Soerjono  Soekanto,  F a ktor  ya ng  Mempenga r uhi  P enega ka n  Hukum, PT.  Raja Grafindo Persada, jakarta, 2002. 
    • Sudarto, P emida na a n P ida na da n Tinda ka n, BPHN, Jakarta, 1982

    0 comments:

    Post a Comment