Monday, April 10, 2017

JENIS KEJAHATAN PREMI ASURANSI SERTA PENEGAKAN HUKUMNYA


JENIS KEJAHATAN PREMI ASURANSI SERTA PENEGAKAN HUKUMNYA

Asuransi selaku lembaga keuangan bukan bank, mempunyai peranan cukup besar sekali baik bagi masyarakat maupun bagi pembangunan. Namun perkembangan aktivitas ekonomi tanpa keadilan hukum yang memadai, mendorong tampilnya berbagai bentuk tindak pidana/kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, termasuk dalam kejahatan atau tindak pidana di bidang usaha perasuransian seperti tindak pidana penggelapan premi asuransi.

Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak asuransi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Yang menyelenggarakan pertanggungan itu biasanya adalah pemerintah. Dengan perkataan lain penanggungnya adalah pemerintah.
  2. Sifatnya hubungan hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagian anggota masyarakat.
  3. Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan.
  4. Tujuannya adalah untuk memberikan suatu jaminan sosial (Social Security), bukan untuk mencari keuntungan. Melaksanakan apa yang menjadi tujuannya ini adalah merupakan kewajiban bagi pemerintah
  • Tindak pidana penggelapan premi asuransi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang -Undang Asuransi tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana penggelapan yang secara umum diatur dalam Pasal 372 KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalamPasal 378 KUHP Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti "menggelapkan" tersebut. Dengan demikian, makna bagian inti atau unsur "menggelapkan" dalam Undang-Undang Asuransi, harus ditafsirkan sebagai "penggelapan" dalam KUHP. Pasal 21 ayat (2) Undang-UndangAsuransi menentukan: "Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah)”.
  • Sedangkan Pasal 372 KUHP menentukan: "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yangseluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah ". Berdasarkan dua ketentuan tersebut bagian inti atau unsur-unsur tindak pidana penggelapan premi asuransi adalah:
  1. Dengan sengaja dan melawan hukum;
  2. Memiliki premi asuransi yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;
  3. Yang ada padanya bukan karena kejahatan.
Dengan demikian, ketika seseorang didakwa melakukan tindak pidana pengelapan premi asuransi, pada hakekatnya Penuntut Umum harus dapat membuktikan keseluruhan bestanddeelen  atau unsur-unsur tersebut. Secara teknis penuntutan, dalam Surat Dakwaan selain harus disebutkan bahwa terdakwa melanggar 
  1. Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi, juga ditambahkan bahwa perbuatannya tersebut melanggar Pasal 21 ayat (2) Undang- Undang Asuransi, juga ditambahkan bahwa perbuatannya tersebut melanggar Pasal 372 KUHP (Pasal 21 ayat (2) Undang- Undang No. 2 Tahun 1992
  2.  jo Pasal 372 KUHP).
 I. Addressat Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi

Sementara itu mengenai idiom "barang siapa" bukanlah bagian inti atau unsur suatu tindak pidana, sekalipun praktek hukum kerapkali memasukkannya sebagai unsur suatu tindak pidana. Idiom "barang siapa" merujuk kepada addresat suatu tindak pidana, yaitu siapakah yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana. Idiom `barang siapa" di sini hanya merupakan penegasan tentang subyek dari suatu tindak pidana.

Dengan demikian, untuk menentukan apakah seseorang adalah "barang siapa" sebagaimana dimaksud dalam rumusan tindak pidana, tergantung dari jawaban apakah seseorang tersebut adalah subyek hukum yang dituju oleh norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan yang memuat suatu tindak pidana. Untuk itu, diperlukan suatu tinjauan secara komprensif terhadap suatu perundangan-
undangan, apakah seseorang adalah orang yang dimaksud dengan larangan atas tindak pidana itu. Dengan kata lain, perlu pengkajian yang komprensif tentang suatu perundang-undangan, sehingga dapat dikenali dengan tepat subyek hukum yang dituju dari padanya.

Demikian pula halnya dengan tindak pidana asuransi. Hal ini menyebabkan harus diadakan pengkajian sejarah perundang- undangan asuransi yang dengan hal itu dapat diketahui siapakah yang dituju dari norma hukum pidana yang terdapat dalam undang undang tersebut.  Pengertian "barang siapa" dalam rumusan tindak pidana asuransi bukan hanya ditujukan "siapa saja, setiap orang dapat menjadi pelaku tindak pidana".

Tetapi lebih jauh lagi apakah seseorang tersebut adalah orang yang memang dengan tepat dituju oleh Undang-Undang Asuransi. Untuk mendapat gambaran tentang addresrat suatu tindak pidana dapat juga dilakukan dengan melihat hal ihwal kepentingan yang hendak dilindungi oleh norma-norma hukum pidana itu. Adalah suatu keharusan etis, jika suatu pembentuk undang undang hendak menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, menggambarkan dengan jelas kepentingan apakah yang hendak dilindungi dalam hal ini. Dengan memahami dengan baik kepentingan apakah yang hendak dilindungi dengan melarang dan mengancam suatu perbuatan dengan pidana, maka dapat diketahui pula addre.r.rat dari norma hukum tersebut.

Undang-Undang Asuransi adalah Undang-Undang Administratif, yang didalamnya memuat normanorma yang sifatnya "mengatur" usaha perasuransian. Dengan demikian, pertama-tama Undang- Undang Asuransi mengatur para pelaku usaha yang bergerak dibidang perasuransian untuk mentaati berbagai ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, ketentuan
pidana yang terdapat dalam Undang- Undang Asuransi pertama-tama ditujukan agar supaya norma hukum administratif yang terdapat dalam undangundang tersebut ditaati oleh para pelaku usaha perasuransian. Hal ini juga dapat dipahami bahwa Undang-Undang Asuransi terutama diadakan untuk melindungi masyarakat dalam memanfaatkan jasa pelayanan usaha perasuransian. Terutama dari kegiatan usaha perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan.

Berdasarkan hal di atas, rumusan tindak pidana penggelapan premi pada dasarnya ditujukan terhadap "setiap orang yang mempunyai keterkaitan dengan usaha perasuransian". Hal ini menyebabkan idiom
"barang siapa" dalam rumusan tindak pidana penggelapan premi asuransi, tidak tepat apabila hanya ditafsirkan sebagai "setiap orang", tetapi sepanjang "setiap orang" tersebut terkait dengan usaha perasuransian.

Sementara itu harus diingat, makna idiom "barang siapa" dalam Undang-Undang Asuransi bukan hanya terhadap orang perseorangan (natuurl~k perroon),  tetapi juga korporasi, baik badan hukum
(recht per.roon) ataupun bukan badan hukum. Mengingat sangat kompleksnya tindak pidana dan pertanggungjawaban korporasi, maka mengenai hal ini akan kami bicarakan secara tersendiri.

2. Unsur "dengan sengaja dan melawan hukum"

Terdapat dua hal penting yang pada hakekatnya sangat berbeda satu dengan yang lain dalam bagian inti ini. Yaitu
  1.  "dengan sengaja" yang dipisahkan dengan kata "dan" terhadap kata-kata "melawan hukum". Terhadap konstruksi demikian, sebenarnya masih berlaku aturan pokok yang dikenal dalam kepustakaan hukum pidana, yaitu "melihat kepada tempat disebutkannya perkataan "dengan sengaja" dalam ketentuan bersangkutan, sehingga "melawan hukum selalu harus dikuasai oleh "dengan sengaja".5 Artinya kesengajaan meliputi bagian inti atau unsur "melawan hukum" dan unsur-unsur lain yang disebutkan berikutnya. Ditambahkannya perkataan "dan" di antara "dengan sengaja" dan
  2. "melawan hukum, "menunjukkan pengobyektifan "melawan hukum" dari kesengajaan". Dalam hal ini, perkataan "melawan hukum" dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana tersebut sebenarnya secara normal dibolehkan, tetapi sebagai perkecualian dalam keadaan melawan hukum menjadi tidak boleh.
Tentang "dengan sengaja"
Kesengajaan adalah bentuk kesalahan, yaitu salah satu unsur yang menentukan pertanggungjawaban pidana. "dengan sengaja" dan dengan berbagai variasinya dimasukkan dalam rumusan tindak pidana. Pencantuman kata-kata "dengan sengaja” dalam suatu rumusan tindak pidana karena harus dipahami
bahwa hal itu dimaksudkan hanya untuk mempermudah penafsiran unsur-unsur berikutnya.

Dalam tindak pidana penggelapan asuransi, "dengan sengaja" berarti adanya "kesadaran" dan "pengetahuan" atau `purposely" and "knowingly" (willen en wetten) pada diri pelaku ketika melakukan perbuatan yang secara materil melawan hukum.


Tentang "melawan hukum"
"Melawan hukum" selalu menjadi unsur mutlak setiap tindak pidana. Namun demikian, baru harus dibuktikan apabila menjadi bagian inti (be.rtanddee~ dari tindak pidana yang didakwakan. Praktek peradilan menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang unsur "dengan melawan hukum". Pada awalnya, "melawan hukum" diartikan secara formil (bertentangan dengan
perundang undangan) tetapi kemudian bergeser ke arah materil, yaitu selain bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, juga bertentangan Dengan rasa keadilan masyarakat. Lebih jauh lagi, pergeseran selanjutnya, melawan hukum materil juga diartikan dalam fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan dengan perundangundangan (melawan hukum formil), tetapi sepanjang perbuatan terdakwa adalah "tindakan- tindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan", sudah dapat dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). Demikian misalnya yang ini dikemukakan oleh Komariah E. Sapardjaja.

Unsur "memiliki premi asuransi yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain".

"Memiliki" adalah perbuatan aktif (commision), yaitu memperlakukan sesuatu seolah-olah sebagai miliknya sendiri, padahal yang bersangkutan menyadari dan mengetahui bahwa seluruh atau sebagian
dari sesuatu tersebut adalah milik orang lain. Sebelum melakukan perbuatan "memiliki" disini, pelaku harus terlebih dahulu "menguasai" sesuatu tersebut.
Hanya saja dalam penggelapan, termasuk penggelapan premi, penguasaan atas premi tersebut oleh pelaku bukan ditimbulkan oleh suatu kejahatan. Jadi hanya terjadi karena hal-hal yang bersifat melawan hukum. Apakah sebagai titipan, penerimaan pembayaran ataupun kutipan premi yang sah secara hukum.
tindak pidana asuransi adalah "setiap orang" yang terkait dengan usaha perasuransian, karena sebenarnya dapat dikatakan "penguasaan" atas premi tersebut selalu terkait dengan jabatannya di perusahaan asuransi.

Pada dasarnya pembayaran dan penguasan premi secara tegas telah diaturdalam Undang-Undang No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Pasal 22 ayat 1-3 berbunyi:
  1. Premi asuransi dapat dibayarkan langsung oleh Tertanggung kepada Perusahaan Asuransi, atau melalui Perusahaan Pialang Asuransi untuk kepentingan Tertanggung.
  2. Dalam hal premi asuransi dibayarkan melalui Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Asuransi wajib menyerahkan premi tersebut kepada Perusahaan Asuransi sebelum berakhirnya tenggang waktu pembayaran premi yang ditetapkan dalam polls asuransi yang bersangkutan.

"Premi" adalah sebutan uang jasa asuransi yang menjadi kewajiban tertanggung kepada penanggung. Dengan demikian, terhadap "uang premi" yang sebenarnya kepunyaan orang lain, pelaku telah menggunakannya, mengalihkannya, memberikannya, menghilangkan-nya atau perbuatan apapun yang dengan itu dapat dinilai sebagai seolaholah miliknya sendiri secara melawan hukum. Termasuk pada pengertian ini adalah apabila terjadi kelebihan pembayaran premi oleh tertanggung, tetapi ketika diminta untuk direstitusi (ditagih kembali), penanggung mengelak dengan berbagai alasan.

Disadari atau tidak oleh para pelaku bisnis asuransi, bahwasanya permasalahan di atas tentunya telah memasuki ruang- ruang lain selain ruang hukum asuransi semata, antara lain ruang hukum perlindungan konsumen, ruang hukum perdata bahkan juga telah memasuki ruang hukum pidana.

Masuknya ke dalam ruang hukum perlindungan konsumen, karena memang secara nyata permasalahan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi Tertanggung selaku konsumen. Masuknya ke dalam ruang hukum perdata, karena memang secara nyata permasalahan tersebut telah mengingkari Pasal 1320 dan 1338 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Masuknya ke dalam ruang hukum pidana, karena memang permasalahan tersebut telah memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 372 dan 378 KUHP.

Terlebih lagi dalam Pasal 22 ayat (3) Undang- Undang No. 72 tahun 1992 secara tegas menyatakan:

"Dalam hal penyerahan premi oleh Perusahaan Pialang Asuransi dilakukan setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan maiib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari kerurgian yang terjadi dalam jangka waktu antara habisnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sampai dengan diserahkannya premi kepada Perusahaan Asuransi".

Pendapat :
Tindak pidana penggelapan premi asuransi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana penggelapan yang secara umum di atur dalam Pasal 372 KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalam Pasal 378 KUHP Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti "menggelapkan" tersebut. Dengan demikian, makna bagian inti atau unsur "menggelapkan" dalam Undang-Undang Asuransi, harus ditafsirkan sebagai "penggelapan" dalam KUHP.

Catatan :
Bahwa hal yang telah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi yaitu menerima pembayaran premi yang telah melewati batas waktu, seharusnya tidak terjadi. Begitu pula bagi Tertanggung atau Perusahaan Pialang Asuransi, seharusnya mentaati ketentuan yang termaktub dalam polis berkaitan dengan pembayaran premi yang telah melewati batas waktu. Jika demikian, maka tidak perlu lagi ada dispute mengenai penyelesaian permasalahan ini.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Adji, Indriyanto Seno., Korupsi dan Hulrum Pidana (Jakarta: Kantor Pengacara Prof. Dr. Oemar Seno Adji, 2002).
  2. Barneveld, H. Van., Pengetahuan Umum Asuransi, terjemahan Noehar Moerasad, (Jakarta: Bharata, 1980). 
  3. Fletcher, George P., Rethinking Criminal Law (Oxford: Oxford University Press, 2000).
  4. Saleh, Roeslan., Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987).
  5. --------------., Masih Saja Tentang Kesalahan (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994).
  6. Sapardjaja, Komariah E., Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, (Bandung: Alumni, 2002).
  7. Simanjuntak, Emmy Pangaribuan., Hukum Pertanggungan Dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Sie. Hukum Dagang FH- UGM, 1980).

0 comments:

Post a Comment