Sunday, April 23, 2017

perlindungan hukum terhadap saksi dan korban




 www.artikelhukum.online
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga mengatur tentang saksi ternyata tidak cukup memberikan perlindungan jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka ataupun terdakwa,  melihat saksi sekedar sebagai bagian dari alat bukti dan kurang mengatur saksi sebagai pihak yang perlu dilindungi dan terutama pemulihan akan hak-haknya. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan definisi saksi dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut: ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Definisi ini relatif sama dengan definisi mengenai saksi menurut Pasal 1 angka 36 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu ”Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan iaalami sendiri”

UU Perlindungan Saksi dan Korban, juga  memberikan perlindungan kepada korban termasuk keluarganya, dengan definisi dalam  Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 5 sebagai  berikut: ” Korban adalah seseorang yang  mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Sedangkan definisi  keluarga yakni ”Keluarga adalah orang yang  mempunyai hubungan darah dalam garis lurus  ke atas atau ke bawah dan garis menyamping  sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai  hubungan perkawinan, atau orang yang  menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban”.

Dalam perkembangan praktek peradilan, pengertian ini meluas  dengan memasukkan orang-orang yang sekedar  ”mengetahui” sesuatu yang berkenaan dengan tindak pidana dalam kategori saksi. Misalnya  ketentuan dalam Undang-undang Nomor 31  Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang membedakan antara ”saksi” dan ”pelapor”.  Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor  31 Tahun 1999 disebutkan bahwa ”Pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi” dan  bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pembedaan antara saksi dan pelapor ini tidak dijelaskan dengan rinci dalam penjelasan  UU tersebut. Di samping itu, mengenai hak saksi pelapor untuk mendapatkan perlindungan hukum juga tidak dijelaskan secara rinci bentuk dan prosedurnya. Tentulah dengan kondisi demikian, terbuka kemungkinan terjadinya praktek perlindungan yang lebih ”mementingkan” para pelaku daripada para saksi maupun korban, terutama tidak diaturnya secara terperinci hak-hak para saksi dan korban untuk memperoleh perlindungan dan dukungan. Dengan adanya UU No 13 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maka memperjelas peruntukannya sebagaimana diterangkan  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur antara lain:
  1. penguatan kelembagaan LPSK, antara lain peningkatan sekretariat menjadi sekretariat jenderal dan pembentukan dewan penasihat; 
  2. penguatan kewenangan LPSK; 
  3. perluasan subjek perlindungan; 
  4. perluasan pelayanan perlindungan terhadap Korban; 
  5. peningkatan kerja sama dan koordinasi antarlembaga; 
  6. pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap Saksi Pelaku; 
  7. mekanisme penggantian Anggota LPSK antarwaktu; 
  8. perubahan ketentuan pidana, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Tata cara Perlindungan terhadap Saksi dan Korban dan Lembaga yang melaksanakan silahkan download dibawah ini
  1. Dalam Perkap No. 7 tahun 2005 diatur tentang Tata cara Memberikan Perlindungan Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang 
  2. kemudian Perkap No 10 Tahun Tahun 2007 tentang  Organisasi Tata Kerja Unit Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak (unit PPA) dilingkungan Polri. Perkap ini mengatur terhadap Perlindungan Perempuan dan anak yang menjadi korban maupun pelakunya 
  3. PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.HH - 11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER - 045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB - 02/01 - 55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR, SAKSI PELAPOR DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA 
  4. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2016 TENTANG SEKRETARIAT JENDERAL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
  5. BUKU PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 

0 comments:

Post a Comment