Monday, April 24, 2017

Ancaman Pidana bagi Pengembang Perumahan



www.artikelhukum.online
Ancaman Pidana bagi Pengembang Perumahan
Perumahan dan Kawasan Pemukiman Pengembang perumahan merupakan pelaku usaha yang bergerak dibidang pelaksanaan perumahan dan kawasan permukiman. Pengembang perumahan yang dimaksud dalam undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah pelaku usaha berbadan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang kegiatannya dibidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Menurut Molegraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak ke luar untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.
Pengembang perumahan yang dimaksud haruslah badan hukum yang didirikan oleh warga Negara Indonesia yang kegiatannya dibidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan Perumahan dan Kawasan Permukiman.29 Dalam Akta Pendirian Perusahaannya harus secara jelas menyebutkan bidang usaha sebagai pengembang perumahan dan kawasan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pengembang perumahan dalam menjalankan kegiatannya biasanya masuk kedalam asosiasi yang yang mempunyai Visi-Misi sejalan dengan pengembang perumahan tersebut. Beberapa asosiai perumahan yang ada di Indonesia di antaranya, APERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Kawasan Permukiman Seluruh Indonesia), REI (Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia).30 Dan khusus untuk menyediakan perumahan yang layak bagi masyarakat menengah ke bawah milik pemerintah atau BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) yaitu PERUMNAS.

Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman
Tindak Pidana menurut Wirjono Projodikoro yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku itu dikatakan sebagai subjek tindak pidana. Perbuatan itu merupakan tindakan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari diri pelaku yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sipelanggar. Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku. Unsur objektif tersebut meliputi
  1. Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang negatif yang menyebabkan pidana. 
  2. Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum. 
  3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa terdapat pada waktu melakukan perbuatan. 
  4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum
Jika bertentangan dengan undang-undang. Unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi:
  1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
  2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.
  3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
  4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad seperti yang misalnya
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Beberapa Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai berikut :

A. Doktrin Identifikasi/Direct Corporate Criminal Liability
Menurut teori ini, korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan korporasi.
Corporate Criminal Liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi yang pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.
Terkait dengan uraian tersebut, siapa yang dimaksud dengan agen atau orang- orang yang bila melakukan tindak pidana, sehingga yang bertanggungjawab adalah korporasi (tindakan) mereka sesungguhnya identik dengan (tindakan) korporasi. Dalam teori Corporate Criminal Liability, orang-orang yang identik dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur organisasi suatu korporasi, tapi secara umum meliputi the board of directors, the chief exscutive officer, atau para pejabat atau pengurus korporasi pada level yang sama dengan kedua pejabat tersebut.
Ajaran identifikasi atau identification doctrine dianggap tidak cukup untuk dapat digunakan mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam banyak perusahaan modern

B. Doktrin Strict liability
Strict liability diartikan sebagai suatu tindak pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus. Strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (libility without fault). Dengan substansi yang sama, konsep strict liability dirumuskan sebagai the nature of strict libility offences is that they are crime wich do not requere any means rea with regard to at least one element of their “actus reus” (konsep peretanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahn, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbutan).
Dalam tindak pidana yang bersifat strict libility yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku, dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidananya. Jadi, tidak di persoalkan adanya men rea karena unsur pokok strict libility adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbutan), bukanlah mens rea (kesalahan).
Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan (libility on fault or negligence atau fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori pertanggungjawaban mutlak no fault liability atau absolute/strictliability yang berlaku pada jaman masyarakat primitif. Pada masa itu berlaku rumus :”a man acts at his peril”, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. Dengan perkataan lain, seseorang bertanggungjawab untuk setiap kerugian untuk bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya.

Dapat juga diartikan pertanggungjawaban korporasi semata-mata berdasarkan Undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “companies offence”, “situasional offence”, atau “strict liability offences”

Akan tetapi, istilah tanggungjawab tanpa kesalahan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru karena banyak juga tanggungjawab terhadap perbuaatan, baik yang disengaja maupun kelalaian yang mengerogoti kepentingan orang lain. Kepentingan dilindungi oleh hukum, yang merupakan tanggungjawab tanpa kesalahan secara moral. Seakan-akan pertanggungjawaban tanpa kesalahan akan bertentangan dengan teori kesalahan normatif, pertanggungjawaban pidana korporasi tetap atas dasar kesalahan, hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subyek hukum manusia yang didasarkan (bertolak dari) keadaan psikologis dari penetapan dapat dipermasalahkannya badan hukum (korporasi) yaitu tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum.

Alvi Syahrin, berpendapat Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus memperhatikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Fungsi strict liability yaitu berkenan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana materil. Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan pembuktikan, yakni kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur tindak pidana.

C. Doktrin Vicarious Liablity
Vicarious liablity, lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious libility adalah suatu konsep pertanggungjwaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done whitin scope of employment). Vicarious liablity hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Rasionalitas penerpan teori ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).
Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman menentukan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah Negara. Bagi badan hukum yang ingin membangun rumah umum wajib diberikan kemudahan oleh pemerintah pusat dan/atau daerah. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam melaksanakan tanggungjawab menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan perukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Kemudian berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pembangunan perumahan meliputi:
  1.  Pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan/atau 
  2. Peningkatan kualitas perumahan.
Penyediaan PSU perumahan dan kawasan perukiman merupakan kelengkapan fisik untuk mendukung terwujudnya perumahan yang sehat, aman dan terjangkau. Dengan demikian, ketersediaan PSU merupakan kelengkapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengembangan perumahan dan kawasan perukiman. Dukungan PSU yang memadai diharapkan dapat menciptakan dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan.26 Sehingga dapat terwujud yang diamanatkan oleh Undang- undang No 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia Pasal 9 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  1. Tidak Pidana Pengembang Perumahan dalam Penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman yang dapat dilakukan oleh Pengembang Perumahan, terdapat dalam Pasal 162 ayat (1) Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), yakni Badan Hukum yang mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 yang melarang Badan Hukum menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman dengan mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum di luar fungsinya, serta menjual satuan permukiman bagi Badan hukum yang belum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba.
  2. Pasal 155 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga menyebutkan badan hukum yang dengan sengaja melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan bahwa perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: 
  3. Pasal 155 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga menyebutkan badan hukum yang dengan sengaja melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan bahwa perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a. status pemilikan tanah; b. hal yang diperjanjikan; c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk; d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (duapuluh persen). dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  4.  Pasal 163 ayat (1) Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) dan Pasal 152 dilakukan oleh badan hukum, maka selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang. 
  5. Pada Pasal 163 Ayat (2) Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, selain pidana bagi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurus badan hukum dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. 
  6. Pasal 151 ayat (1) melarang setiap orang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), sedangkan Pasal 151 ayat (2) menyatakan selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan. 
  7. Pada Pasal 152 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman melarang setiap orang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana yang dapat dilakukan pengembang perumahan dalam menyediakan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum perumahan dan kawasan permukiman Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, melarang pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
  • tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,
  •  etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

    tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; 
Undang-undang terkait pengembang perumahan dalam menyediakan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum perumahan dan kawasan permukiman juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama

Dan UU RI No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman Penyelenggara dapat dipidana dengan : 
Pasal 134 Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.
Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai  dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasaran
a, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, dipidana  dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,0 0  (lima miliar rupiah).

Silahkan download :
  1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN  
  2. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN 
  3. KEPUTUSAN MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH NOMOR: 403/KPTS/M/2002 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH SEDERHANA SEHAT (Rs SEHAT) 

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku
Abdi Supriyanto, Eko Riyadi, Imran, Yahya Ahmad Zein, dan Mirza Al Fath. 2009 Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dan Perumahan Di Era Otonomi Daerah : Analisis Di Tiga Daerah, PUSHAM U
Ali Mahrus, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT. Raja Grafindo persada,
Jakarta.
_________,2008, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta.
Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Keasalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Fuadi Munir, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hamdan M, 2005, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press,
Medan.
__________, 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju,
Bandung.
Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability, Jakarta.
Kanter E.Y, SH dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannnya, Storia Grafika, Jakarta.
Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Marpaung Leden, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gradika, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta.
Maramis ,Frans, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta.
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, PT, Rineka Cipta, Jakarta.
Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.
Prasetyo, Teguh, 2013, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Priyanto, Dwidjaya, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.
Priyatno, Dwidja dan Muladi, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana
Peranada Media Group, Jakarta.
Priyatno, Dwijda, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
II, Yogyakarta.
Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.
Priyatno, Dwidja dan Muladi, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Setiadi, Prof. DR. Edi, S.H., M.H. dan Dian Andriasari, S.H., M.H., 2013, Perkembangan
Hukum Pidana DI Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Setiono, H, 2004, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis Dan
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang.
Sianturi, S.R. dan E.Y Kanter, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, Soria Grafika, Jakarta.
Sunggono Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

0 comments:

Post a Comment