Wednesday, April 12, 2017

ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA REPUBLIK INDONESIA



ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA REPUBLIK INDONESIA

Masayarakat selalu dinamis, dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak perlu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi kondisi yang tercipta adalah hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat sehingga peristiwa-peristiwa yang sebenarnya merupakan perbuatan melawan hukum tak dapat diatasi hanya karena hukumnya tidak atau belum ada. Kondisi ini tercipta karena hukum yang dikembangkan lebih ditekankan kepada hukum tertulis, yang pembuatan dan pemberlakuannya dilakukan melalui prosedur tertentu dan memakan waktu yang tidak pendek.

Kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, hukum pidana kita juga kurang bersikap adaptif dalam merespon perkembangan yang terjadi di masyarakat, baik masyarakat nasional maupun internasional.Romli Atmasasmita menyebut sikap hukum pidana yang demikian, termasuk asas-asas hukum dan norma-norma serta lembaga-lembaga pranata yang mendukungnya masih bersifat konservatif. Sikap konservatif ini terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas legalitas, asas neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan. respon ini menyebabkan kajian tentang hukum pidana tidak mengalami perkembangan yang signifikan.

Asas Non Retroaktif dan Asas Retroaktif  Dalam Instrumen Hukum Internasional

Pembicaraan asas retroaktif akan berhenti jika kita hanya berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) KUHP, karena pasal tersebut membatasi pengertian retroaktif hanya pada keadaan transitoir atau menjadi hukum transitoir (hukum dalam masa peralihan). Ini mengandung arti bahwa jika sebelumnya tidak ada peraturan pidana, kemudian dibuat peraturan pidana yang baru dan berlaku untuk kejahatan yang telah lalu, berarti bukan persoalan retroaktif, dan ini oleh Barda Nawawi Arief termasuk dalam persoalan sumber hukum.
Akan tetapi jika kita mengartikan secara lebih luas, retroaktif berarti berlaku surut dan ini berarti berlaku untuk pembicaraan ada yang berarti hukum transitoir – atau tidak ada peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan. 
Persoalan retroaktif sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas. Asas legalitas sendiri dapat dikaji berdasarkan berbagai aspek, seperti 1. aspek historis, 2. aspek sosio kriminologis, 3. aspek pembaharuan hukum 

Dalam kaitannya dengan pandangan secara iteratif dan linier, aspek yang terkait dengan politik kriminal serta kajian dari perspektif weltanschaung kita yaitu Pancasila. Kajian dari masing-masing aspek ini memberi implikasi yang berbeda mengenai asas legalitas yang mana dalam pandangan ilmu pengetahuan perbedaan itu justru akan memperkaya khasanah ilmu hukum pidana itu sendiri.
 
Dilihat dari aspek historis, munculnya asas legalitas sebenarnya telah lama ada sebelum Anselm von Feurebach menggunakannya dalam pandangannya mengenai hukum pidana. Banyak yang mengira dialah orang yang pertama menggunakan istilah asas legalitas, akan tetapi pandangan ini tak bisa disalahkan begitu saja karena buku-buku yang dibaca oleh sarjana hukum kita kebanyakan ditulis oleh orang-orang Belanda. Adalah benar bahwa Anselm von Feurerbah merupakan orang yang merumuskan asas legalitas dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh berdasarkan pendapat Oppenheimer, Samuelvon Pufendorf pernah mengemukakan gagasan serupa. Kedua orang tersebut – Anselm von Feurebah dan Samuel von Pufendorf  bukanlah orang yang memiliki gagasan tersebut. Jauh sebelum mereka berdua mengemukakan gagasannya itu, embrio asas legalitas sudah ada dalam ilmu hukum orang Yahudi (Talmudic Jurisprudence).
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas ini terbagi dalam tiga hal, yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan undang- undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan) dan Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Menurut Sudarto,  pasal ini berisi 2 (dua) hal, pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana (non retroaktif). Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Larangan pemberlakuan asas retroaktif ini didasarkan pada pemikiran:
  1. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa 
  2. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm vonFeurebach). 
Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat. Saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional,11 misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, 
  1.  Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (ViennaConvention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan 
  2. Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). 
  3. Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, 
  4. Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, 
  5. Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its EightProtocols, 
  6. Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of theInternational Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.
Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berartitidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif.13 Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1). 

Dari praktek hukum pidana internasional, dapat kita lihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpanganm atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional.
Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang
pada Perang Dunia II International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif.

Eksistensi Asas Retroaktif Di Indonesia

Asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menun-
jukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diper- debatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum khususnya hukum pidana  semakin diperluas. Selain itu pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan
sendirinya.

Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada, padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari kovensi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah asas legalitas materiil sama dengan asas retroaktif.

Asas legalitas materiil dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dan kemudian direspon dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2004 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.

Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUHP). Kemudian larangan itu muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas non retroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Secara historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan mengeluarkan Brisbane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan
negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu Jepang. Kuatnya keinginan menerapkan asas retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Talionis (pembalasan). Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam Penjelasan Pasal 4,24 Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu:
  1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam Penjelasan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut. Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”.Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi hak relatif. Kemudian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu.
  2. Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC.27 Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat ber tindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri. 
  3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor- Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.

Larangan pemberlakuan surut suatu per- aturan pidana (retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Kenyataan yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berada di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundang-undangan. Selain itu larangan penerapan peraturan pidana secara retroaktif ternyata menimbulkan persoalan yang rumit terutama dalam menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingannya dalam KUHP atau peraturan pidana khusus lainnya. Adakah kejahatan yang sedemikian dibiarkan.

 Daftar Pustaka
  1. Adji, Indriyanto Seno. Catatan Tentang Pengadilan HAM dan Masalahnya. Artikel pada Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIX No. 1 Januari 2001, FH UNPAR Bandung; 
  2. -----------. “Terorisme”, Perpu No. 1 Tahun 2002 Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia. Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 1, Januari 2003, Bandung: FH UNPAR; 
  3.  Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti; 
  4. ------------. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti; 
  5. ------------. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana, Dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: Citra Aditya Bakti; 
  6. Atmasasmita, Romli. 1998. Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional. Bagian Kesatu, Bandung: Putra A Bardin; 
  7. ------------. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju; 
  8. -----------. 2004. Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II. Jakarta: Hecca Mitra Utama; 
  9. ------------. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Jilid Ke-2. Bandung: CV Utomo; 
  10. -----------. Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Makalah pada Seminar Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Kerjasama UNDIP dan BPHN DEPKEH HAM RI, 26 April 2006; 
  11. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang- undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2004. 
  12. Rancangan Undang- undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Hamzah, Andi. 1992. Hukum Pidana Politik. Jakarta: Pradnya Paramita;  
  13. Jaya, Nyoman Sarikat Putra. 2001. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: BP UNDIP;

0 comments:

Post a Comment